(Momenriau.com Kepri). Pada hari Minggu (18/08-2024), Nukila Evanty selaku Ketua Inisiasi Masyarakat Adat menjelaskan bahwa, "Masyarakat Pulau Rempang bersiap menggelar Festival Budaya Rempang, sebuah perayaan untuk merayakan kekayaan budaya dan tradisi yang telah diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat adat setempat".
Acara ini, akan dilaksanakan di Pantai Tanjung Kertang, Pulau Rempang pada 07 September 2024 mendatang, tanggal ini bertepatan dengan peringatan satu tahun, terjadi penggusuran atau relokasi paksa di Pulau Rempang, Batam, yang menyebabkan bentrokan antara aparat dan warga pada 07 September 2023, pada waktu itu, aparat menggunakan gas air mata untuk memaksa warga pindah, menyebabkan 11 orang terluka, termasuk 10 siswa dan seorang guru. Warga setempat menolak direlokasi karena mereka telah tinggal di sana sejak 1834 dan meminta pengakuan atas hak tanah mereka.
Pulau Rempang, dengan luas wilayah sekitar 16.583 hektar dan dihuni oleh 7.512 penduduk, adalah rumah bagi masyarakat adat dari suku Melayu, Orang Laut, dan Orang Darat yang telah tinggal di sini sejak tahun 1834. Jejak sejarah mereka bahkan terekam dalam arsip kolonial Belanda.
Festival Budaya Rempang bertujuan untuk mengingat kembali keindahan budaya dan tradisi Rempang, mengajak masyarakat Melayu bersatu, serta menunjukkan kekayaan seni, budaya, dan kearifan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Kasus Rempang telah menjadi simbol perjuangan masyarakat adat di Indonesia untuk mempertahankan tanah leluhur mereka dari ancaman eksternal. Penolakan masyarakat Rempang terhadap proyek tersebut bukan hanya karena ancaman terhadap keberlangsungan hidup mereka, tetapi juga karena ini terkait dengan identitas budaya yang telah diwariskan selama berabad-abad.
Rahima, Ketua Pelaksana Festival Budaya Rempang, menekankan betapa pentingnya peringatan tanggal 07 September ini di tengah situasi yang kritis.
"Kita harus memperingati tanggal 07 September untuk mengenang bagaimana perjuangan masyarakat Rempang mempertahankan tanah ulayat yang telah diwariskan secara turun temurun oleh orang Melayu. Ini bukan sekadar masalah lahan, tetapi juga soal identitas, hak-hak kita sebagai masyarakat adat, dan warisan yang harus kita pertahankan untuk anak cucu kita", ujar Rahima dengan tegas.
Festival ini tidak hanya menjadi ajang perayaan budaya, tetapi juga simbol perlawanan damai terhadap upaya pengambil alihan tanah ulayat. Dengan semangat solidaritas dan persatuan, acara ini diharapkan dapat memperkuat hubungan antar masyarakat Pulau Rempang serta menegaskan identitas budaya mereka di tengah ancaman yang ada.
Sebagai bagian dari perayaan Hari Masyarakat Adat, Festival Budaya Rempang diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk tidak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga memperjuangkan hak-hak mereka atas tanah leluhur.
Kasus Rempang kini menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk mempertahankan tanah ulayat adalah bagian tak terpisahkan dari identitas dan keberlangsungan hidup masyarakat adat di Indonesia.
Pembangunan kawasan industri di Pulau Rempang, Kota Batam, telah memicu sengketa tanah antara masyarakat lokal, pemerintah, dan PT. Makmur Elok Graha. Program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia terhadap Singapura ini justru berujung pada bentrokan karena ketidakpastian hukum terkait status tanah. Masyarakat setempat menganggap tanah tersebut sebagai warisan leluhur yang telah ada jauh sebelum kemerdekaan. Di sisi lain, adanya Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan kepada perusahaan, membuat tanah tersebut tidak lagi diakui sebagai milik masyarakat.
Nukila Evanty Ketua Inisiasi Mayarakat Adat (IMA) menyebutkan penggusuran ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) karena bertentangan dengan pedoman internasional yang mengatur penghormatan hak-hak masyarakat adat (indigenous peoples) sebagaimana sudah tercantum dalam dokumen UNDRIP (Deklarasi hak -hak masyarakat adat Internasional)
“Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), penggusuran paksa melanggar berbagai hak sipil, ekonomi, dan sosial. Dalam kasus Pulau Rempang, pengusiran warga, termasuk anak-anak dan kelompok masyarakat adat, dikhawatirkan dapat merusak komposisi sosial dan budaya mereka. Penggusuran paksa hanya boleh dilakukan dalam keadaan luar biasa dan harus sesuai dengan hukum HAM internasional, termasuk memastikan adanya kompensasi yang adil dan tempat relokasi yang layak. Jika aturan ini tidak diikuti, negara dapat dianggap melanggar hukum internasional dan menjadi sasaran kritik global,” jelas Nukila.
"Acara ini adalah ajang masyarakat sipil untuk menghormati nilai-nilai kemanusiaan kita yang makin tergerus, bayangkan orang bisa terusir ditanah kelahirannya sendiri", tutup Nukila.
Sumber/Nara hubung : Nukila Evanty
WA : 08111808023.
Editor : Edysam.